Salam Persahabatan

SAMPAIKAN KOMENTAR ANDA

Senin, 31 Agustus 2009

Setiap Anak punya potensi untuk BERPRESTASI


Setiap Anak punya potensi untuk BERPRESTASI
Oleh: Ledia Hanifa Amaliah *
(artikel dimuat di majalah Al Hikmah Surabaya)

SMS saya pada putra kedua yang sedang mengikuti babak final Lomba Lukis Remaja Tingkat Nasional di jawab, “Aku nggak menang, tapi puas banget”. Hmm…bisa mengambil pelajaran dari sebuah nilai persaingan dan pertemanan adalah prestasi baginya.

Bagi kami prestasi tak mesti bermakna menjadi juara, meraih piala. Prestasi bagi setiap keluarga pasti memiliki definisi operasional yang berbeda. Ada yang menganggap bahwa menjadi juara kelas barulah disebut berprestasi. Ada pula yang beranggapan bahwa tercapainya target yang di tetapkan bersama adalah prestasi. Yang lainnya menyebutkan bahwa proses yang berjalan ke arah positif sudah merupakan sebuah prestasi. Yang pasti, ukuran prestasi harus disesuaikan dengan usia perkembangannya.

Sebelum orang tua mendorong anak untuk memiliki “prestasi” seperti impian kita, perlu upaya mengenali potensi masing-masing anak karena mereka adalah makhluk yang unik. Potensi yang harus dipandang secara jernih tanpa memasukkan pretensi orang tua, yang secara tidak sadar sering “mematok” impian masa kecil kita pada anak tanpa menimbang apakah ia menyetujuinya atau tidak.

Tidak ada salahnya jika orang tua secara terbuka mendiskusikan kelebihan dan kekurangan anak dalam obrolan-obrolan ringan dengan mereka. Termasuk usulan-usulan untuk meminimalisir kekurangannya dan memperbesar potensi yang dimilikinya. Tidak ada salahnya jika kita membuka peta potensi ini pada semua anak yang sudah dapat diajak berdialog. Dengan demikian mereka berpikir bahwa orang tua tetap berlaku adil walau memperlakukan anak secara berbeda. Meskipun orang tua tidak bermaksud membandingkan atau membedakan satu anak dengan lainnya. Anak belajar bahwa orang tua mereka memberi support pada masing-masing anak sesuai kebutuhannya. Anak jadi tahu bahwa orang tua akan selalu mendukung mereka untuk berprestasi dalam bidang yang mereka minati.

Kadang kala kita terhenyak dengan keputusan anak untuk mengelola potensi yang dimilikinya. Acapkali kita mendorong terlalu keras. Maksud hati ingin menunjukkan dukungan, tetapi tidak selalu disambut positif oleh anak. Orang tua bisa jadi memandang sang anak memiliki potensi kuat untuk berprestasi dalam bidang akademis misalnya. Namun ternyata sang anak memutuskan untuk mengembangkan bakat seninya. Sesuatu yang mungkin membuat kita khawatir akan masa depannya. Biarkan anak mengeksplorasi potensinya sehingga ia memiliki jutaan pengalaman yang akan menjadi modal hidupnya kelak. Kita tinggal mengarahkan dan berdo’a agar langkahnya diridhoi Allah.

Hal yang paling krusial justru ketika anak tidak mengenali potensi dirinya, tidak mau mengembangkannya dan kita selaku orang tua memaksakan kehendak. Sudah saatnya kita membuka komunikasi yang produktif dengan buah hati kita. Komunikasi yang mengarahkan mereka pada pilihan hidup yang sudah diketahui segala resikonya dan mereka mengoptimalkan potensi yang dimiliki untuk kebaikan umat manusia. Inilah prestasi sesungguhnya. Wallahu’alam

Minggu, 30 Agustus 2009

PENDIDIKAN BOARDING : Antara semangat perbaikan dan realita

Sebuah pendidikan yang berkembang dalam suatu Negara beriringan dengan pola pendidikan keluarga dimasyarakat yang diwarnai oleh perkembangan peradaban. Hal ini sangat berpengaruh pada keberadaan sebuah lembaga pendidikan, sehingga model pendidikan yang dibuat dalam suatu masa tidak selalu popular dimasa berikutnya. Seperti halnya pandangan kebutuhan masyarakat pada suatu pendidikan yang menggabungkan antara perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berbasis agama saat ini sangat diminati, kenapa? Karena masyarakat semakin menyadari bahwa seseorang dimasa mendatang, selain perlu dibekali sebuah pendidikan umum dia juga perlu dibekali pendidikan agama yang kuat agar terlahir menjadi orang-orang yang berakhlak mulia dalam menjalankan kehidupannya.

Disadari atau tidak, peradaban yang sudah sedemikian berkembang menuju era globalisasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia secara lebih instant, mempengaruhi jalannya sebuah keluarga, kesibukan orangtua dalam menghadapi persaingan hidup di luar rumah atas nama demi keluarga seringkali menciptakan kesenjangan hubungan antara orangtua dan anak. Untuk menebus rasa bersalah, orangtua memfasilitasi dengan berbagai macam kebutuhan hidupnya. Maka, tanpa disadari atau tidak dengan pengaruh peradaban ini akhirnya menciptakan manusia-manusia yang serba instant, tidak survive dan kurang kreatif. Melihat kenyataan ini banyak kemudian para orangtua yang sebagian besar berasal dari masyarakat perkotaan mencari sebuah lembaga pendidikan yang modern berbasis agama, agar mereka merasa lebih aman ketika anak-anaknya berada dalam sebuah lembaga pendidikan yang dapat memenuhi selain kebutuhan ilmu pengetahuan (IPTEK) namun juga agama (IMTAQ).

Salahsatu yang menjadi pilihan alternative saat ini adalah lembaga pendidikan “ Boarding School “. Keberadaan sekolah model seperti ini disemangati dengan sebuah keyakinan akan perbaikan dari model yang sudah ada yaitu pesantren yang selama ini kelihatannya monoton dg system pendidikannya dan terkesan feodal, sehingga keberadaan pesantren tidak menjadi popular dimasyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Belum lagi pengelolaannya yang kaku dan diwarnai dominasi pendoktrinan serta funishman semata.

Pendidikan boarding school merebak dimana-mana dengan rata-rata mengambil konsep dasar sekolah menengah pertama atau atas sederajat dengan berbagai fasilitas dan pelayanan yang beragam, walau ada juga yang mengambil segmen anak-anak usia sekolah dasar, namun jumlahnya tidak seberapa. Output dari pendidikan semacam ini adalah lahirnya generasi-generasi mandiri, kreatif berakhlak mulia dan berilmu pengetahuan tinggi.

Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk mengelola anak-anak sekolah menengah dan atas yang mempunyai karakter beragam menuju masa pubertas, kalau tidak pandai-pandai menyentuh mereka dari sisi kepribadiannya, semua konsep pendidikan yang diajarkan bukan membekas pada anak, malah menimbulkan perlawanan dari anak itu sendiri, serta menuai protes dari orangtua yang merasa telah membayar mahal untuk perkembangan anaknya serta anak punya kesan buruk terhadap pendidikan yang dijalaninya di masa mendatang. Pendidikan boarding school akan menjadi sebuah trademark apabila dapat dikelola secara baik dan dapat menghasilkan output yang berkualitas, namun sebaliknya apabila tidak maka lembaga pendidikan ini hanya akan menjadi kenangan yang tercatat dalam sejarah sebagai alternative lembaga pendidikan yang berusaha melakukan sebuah perubahan.

Ada beberapa hal yang seringkali menjadi kendala dalam perkembangan model pendidikan ini :

  1. Masalah sumberdaya Manusia

- Kurang wawasan/kurang dewasa

Sangat disayangkan, seringkali keberadaan boarding school untuk anak-anak remaja tidak didukung oleh pengetahuan SDM nya tentang psikologi anak remaja, dan bagaimana pendekatannya terhadap mereka. Pendekatan masih memakai model yang sama hanya dikemas dengan cara modern. Muatan pendidikan lebih banyak diwarnai punishman dibandingkan reward. Yang menjadi wali asrama seringkali anak-anak muda yang baru lulus kuliah, sehingga dari sisi emosi tidak terlalu matang, dalam menyelesaikan masalah pun lebih subyektif dan kurang obyektif

- Sering berganti SDM

Masalah yang cukup krusial adalah masalah pergantian pengajar yang seringkali terlalu cepat sehingga penyampaian pengajaran tidak bisa tuntas. Adaptasi dengan anak atau dari anak pun tidak bisa cepat yang secara otomatis sangat berpengaruh terhadap berjalannya KBM (kegiatan belajar mengajar)

- Kesejahteraan yang kurang terperhatikan

Bagaimanapun mereka manusia biasa, yang punya banyak kebutuhan, keikhlasan dibarengi dengan kesejahteraan akan lebih baik hasilnya dalam mengelola anak didik daripada keikhlasan yang dipaksakan tanpa perhatian yang cukup. Sangat disayangkan banyak dari pengelola merasa bahwa dengan memberikan salah satu fasilita, kesejahteraan sdm telah tuntas,padahal tidak demikian. Sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja mereka dalam mencurahkan perhatian kepada anak didiknya

  1. Timbulnya intrik

Belum lagi intrik internal didalam tubuh pemilik dan pengelola yang berbeda visi dan misi semakin mewarnai kekisruhan lembaga ini. Hampir di semua lembaga pendidikan swasta masalah intrik ini seringkali merebak.

  1. Tidak mampu mempertahankan visi dan misi

Tahun awal berdiri, terlihat masih sesuai dengan visi misi yang ditawarkan dengan sdm-sdm yang berkualitas. Namun, tahun-tahun berikutnya arah pendidikan seolah menjauh dari visi misi

  1. Manajemen internal

Yang tidak bisa dipungkiri adalah kebutuhan mempertahankan sdm yang mempunyai pengaruh kuat dalam mempertahankan citra lembaga pendidikan. Dengan kata lain, sdm-sdm lama seharusnya dipertahankan dan difasilitasi agar tetap bertahan ada di lingkungan pendidikan tersebut. Karena bagaimanapun mereka layak diberikan penghargaan sebagai orang pertama yang menancapkan pondasi awal terhadap anak-anak dalam pembangunan lembaga pendidikan ini. Namun, yang seringkali terjadi adalah diambilnya jalan pintas dengan membiarkan sdm tersebut mengundurkan diri tanpa memberikan penghargaan yang layak sebagaimana mestinya. Memang, ini adalah wilayah jasa yang membutuhkan keikhlasan namun bukan berarti tanpa penghargaan.

  1. Ketidak konsistenan dalam menerapkan peraturan-peraturan.

Bagaimanapun juga mereka adalah anak-anak remaja yang harus diperlakukan sesuai dengan usianya. Peraturan yang terlalu kaku hanya akan mematikan kreatifitas mereka dan menimbulkan perlawanan, begitupun sebaliknya peraturan yang longgar hanya akan membuat mereka tumbuh tanpa aturan. Untuk itu, sebuah peraturan perlu dikomunikasikan dan dibuat bersama agar tumbuh kesadaran dalam mentaati peraturan tersebut, bukankah yang dinginkan adalah tumbuhnya kesadaran mereka dalam melakukan kebaikan daripada melakukan kebaikan hanya sekedar memenuhi kewajiban?

  1. Pendekatan yang kurang fleksibel

Anak-anak di usia remaja butuh tempat untuk berbagi, tidak perlu selalu diberi solusi minimal didengarkan apa yang mereka suarakan. Ketika mereka dititipkan oleh orangtuanya, maka pada saat itu tanggungjawab beralih di pundak para sdm boardingschool yang ada. Mereka orangtua bagi anak-anak tersebut. Maka, seharusnyalah para pendidik dilingkungan tersebut menjadi orangtua bagi mereka yang siap menampung dan mendengarkan keluhkesah mereka, yang ada setiap saat mereka membutuhkan. Anak seringkali diberi label buruk tanpa diberi kesempatan untuk membela diri atau ditinjau permasalahannya

Bagi dunia pendidikan islam dengan banyak berdirinya model pendidikan boarding school ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri, tinggal bagaimana mengelolanya sedemikian rupa agar mengalami kemajuan yang lebih baik lagi sehingga mampu bersaing di dunia pendidikan internasional.

Cikarang, agustus 2009

Daftar Blog Saya