Salam Persahabatan

SAMPAIKAN KOMENTAR ANDA

Minggu, 11 April 2010

Sang Ibu

22/12/2009 | 05 Muharram 1431 H | Hits: 4.438

KirimPrint
dakwatuna.com – Malam itu, malam tahun baru 1431 hijriah. Aku diundang untuk mengisi muhasabah di masjid Al-Ittihad Tebet Jakarta Selatan bersama seorang penyair terkemuka Bapak Taufik Ismail. Ini untuk yang kedua kalinya aku bersama Pak Taufik setelah sebelumnya aku bersama beliau diundang untuk acara muhasabah 60 tahun Bakrie di Rasuna Said. Seperti biasanya Pak Taufik membacakan puisinya. Di antara puisi yang beliau bacakan ada satu puisi tentang ibu.
Aku tidak ingat secara harfiah isi puisi tersebut, tetapi aku terkesan dengan kedalaman isinya dalam menggambarkan betapa tak terhingga kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Karenanya banyak para penyair menulis puisi tentang ibu. Di antara juga yang pernah saya baca D. Zawawi Imran. Aku masih ingat sebagian ungkapan yang ditulis Pak Zawawi. Di antaranya: ”Seandainya aku ikut ujian, dan aku ditanya tentang pahlawan, akan ku jawab ibuku.”
Benar, ibu adalah pahlawan. Tidak ada seorang pun yang paling berjasa kepada kemanusiaan melebihi jasa seorang ibu. Karenanya dalam Al-Qur’an Allah swt. tidak segan menceritakan perih dan lelah seorang ibu saat hamil dan menyusui. Dalam surah Luqman:14, Allah berfirman: ”Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Perhatikan ayat ini, dibuka dengan perintah agar berbuat baik kepada ibu bapaknya, setelah itu Allah menceritakan secara khusus tentang capeknya seorang ibu ketika mengandung anaknya. Sementara capeknya ayah tidak diceritakan. Silahkan cari dalam Al-Qur’an maupun hadits kalau pernah disebut mengenai capeknya seorang ayah. Sungguh hanya sang ibu yang banyak disebut. Bahkan dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Rasulullah saw. ketika ditanya: ”Kepada siapa aku harus berbuat baik? Beliau tidak segan menjawab tiga kali berturut-turut agar itu dilakukan kepada ibu, lalu kepada bapak.”
Namun sayang, banyak anak begitu mudah melupakan jasa besar sang ibu. Kalau pun berbuat baik cenderung perbuatan itu semata basa-basi, datang setahun sekali menemuinya di hari raya. Basa-basi mencium tangannya dan lain sebagainya, sementara pesan-pesannya yang baik tidak dipatuhi. Banyak para ibu yang merindukan anaknya agar mentaati Allah swt. Namun banyak anak yang justeru membalas kebaikan ibunya dengan berbuat maksiat kepada-Nya. Sungguh ini suatu kedurhakaan.
Tidak ada artinya kebaikan seorang anak kepada ibunya secara material, sementara ia selalu berbuat maksiat kepada Allah. Karenanya banyak para ulama mengatakan: ”Pengabdian seorang anak yang paling baik bagi orang tuanya adalah menjadikan dirinya sebagai anak yang saleh.” Inilah rahasia hadits Rasulullah saw. yang berbunyi: ”Waladun shaalihun yad’u lahuu (anak yang shaleh yang selalu mendoakan untuk orang taunya).” Perhatiakan kata shalih dalam teks hadits tersebut. Ini untuk menegaskan bahwa hanya anak yang shalih yang benar-benar akan memberikan kebahagiaan bagi orang tuanya: bahagia secara material maupun secara spiritual. Sementara anak durhaka tidak akan pernah memberikan kebahagiaan hakiki bagi orang tuanya.
Tidak sedikit cerita masa lalu mengenai kebaikan seorang anak kepada ibunya. Di antaranya; disebutkan bahwa salah seorang anak yang shaleh pernah menggendong ibunya dari negeri kelahirannya –kalau tidak salah Yaman- ke kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Bayangkan betapa jauh perjalanan menuju kota Mekah. Dan betapa besar tenaga yang harus dikeluarkan untuk kebahagiaan sang ibu. Di manakah kini kita bisa menemukan pribadi seorang anak seperti ini?
Dalam kisah yang lain lagi disebutkan seorang anak yang shalih sedang menemani ibunya makan. Namun anak ini belum mau mengambil makanan sampai ibunya selesai. Ketika ditanya mengapa berbuat demikian? Ia menjawab: aku takut mengambil makanan yang ternyata itu disukai ibuku. Subhanallah sebuah contoh kejujuran cinta kepada sang ibu sangat nampak dalam kisah tersebut.
Di akhir tulisan ini izinkan aku menulis puisi untuk ibuku:
Ibu, bila semua orang berkata langit itu sangat tinggi
Sungguh masih lebih tinggi cintamu kepadaku
Bila semua orang berkata lautan itu sangat dalam
Sungguh masih lebih dalam kasihmu kepadaku
Bila semua orang berkata bukit itu sangat kokoh
Sungguh masih lebih kokoh perhatianmu kepadaku
Tak sanggup kata melukiskan kebaikanmu
Tak sampai nyawa membalas budi baikmu
Kecuali keshalihanku
Agar sungai keringat jerih payahmu menjadi amal jariah.
Allahu a’lam bish shawab

Ibu, Mengapa Ibu Menangis?

Suara Pembaca

2/4/2010 | 18 Rabiuts Tsani 1431 H | Hits: 2.122

Oleh: Mohamad Joban


KirimPrint

Suatu ketika, ada seorang anak lelaki yang bertanya kepada ibunya. “Ibu,mengapa ibu menangis ?”. Ibunya menjawab, “Sebab aku wanita.” Saya tidak mengerti,” kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. “Nak, kamu memang tidak akan mengerti……”

Kemudian, anak itu bertanya kepada ayahnya. “Ayah,mengapa ibu menangis ?”

Sang ayah menjawab, “Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan.”

Hanya itu jawapan yang dapat diberikan oleh ayahnya. Lama kemudian, si anak itu menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis. Pada suatu malam, ia bermimpi dan mendapat petunjuk daripada Allah mengapa wanita mudah sekali menangis. Saat Allah menciptakan wanita, Dia membuat menjadi sangat penting. Allah ciptakan bahunya,agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya. Walaupun, bahu itu cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tidur.

Allah berikan wanita kekuatan untuk melahirkan zuriat dari rahimnya. Dan sering kali pula menerima cerca daripada anaknya sendiri……Allah berikan ketabahan yang membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah di saat semua orang berputus asa.

Wanita, Allah berikan kesabaran, untuk merawat keluarganya walau letih,sakit, lelah dan tanpa berkeluh-kesah. Allah berikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya, dalam situasi apa pun. Biarpun anak-anaknya kerap melukai perasaan dan hatinya.

Perasaan ini memberikan kehangatan kepada anak-anaknya yang ingin tidur. Sentuhan lembutnya memberi keselesaan dan ketenangan. Dia berikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa kegentiran dan menjadi pelindung baginya. Bukankah tulang rusuk suami yang melindungi setiap hati dan jantung wanita ?

Allah kurniakan kepadanya kebijaksanaan untuk membolehkan wanita menilai tentang peranan kepada suaminya. Seringkali pula kebijaksanaan itu menguji kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap saling melengkapi dan menyayangi.

Dan akhirnya, Allah berikannya airmata agar dapat mencurahkan perasaannya…
Inilah yang khusus Allah berikan kepada wanita, agar dapat digunakan di mana ia inginkan.

Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, airmata!

” Ini airmata kehidupan.”

Poligami


Apa Nikah Deui

Kolom: Senny Suzanna Alwasilah (majalah sunda MANGLE)

Anaking jimat awaking. Basa hiliwirna angin peuting sumelendep kana sanubari ngupahan hate Ibu anu keur peurih kanyeyerian, panon Ibu anu teu weleh baseuh kalahka karasa beuki juuh. Harewosna peuting mudalkeun cipanon anu teu weleh nyalangkrung dina tungtung panon. Ciibun nu ngeclak kana hate ngagulidagkeun cipanon Ibu nu bedah umpal-umpalan lir Citarum mangsa ngijih, Kiwari Ibu mindeng ngageri nahan kanyeri jeung kapeurih alatan kaleungitan Apa hidep. Sok sanajan lain leungit dina harti moal papanggih deui tapi leungit lantaran Apa kaiwat ku hiji istri anu tos ngolembarkeun manah Apa ka Ibu.
Nyai anu geulis. Salapan taun Ibu babakti ka Apa hidep lahir tumekaning batin. Tresna jeung kanyaah Ibu kabeh ditamplokeun keur Apa.

Sok sanajan baheula Ibu kungsi abur-aburan nuturkeun indung suku lantaran embung dikawinkeun ka Apa tapi da geuning jodo mah geus aya gurat tiditunana. Ahirna Ibu ‘serah bongkokan’ ka Aki hidep nyerahkeun diri jeung hate pikeun dipiboga ku Apa. Tapi da geuning ray poe mah hate Ibu anu teu pati merean ka Apa teh mimiti robah. Komo basa hidep lahir ka alam dunya, kanyaah Ibu ka Apa beuki ngagedean, pon kitu Apa, kaciri pisan deudeuh jeung nyaahna ka Ibu jeung ka hidep. Tapi Eulis. Dunya lir ibarat puteran roda. Kasono Apa anu pogot ka Ibu ngipisan saanggeus Apa kapincut ku hiji istri. Teu apal Ibu oge iraha mimitina, da ujug-ujug dina hiji poe Apa ngasongkeun surat anu ku Ibu kudu diteken anu eusina nyaluyuan Apa nikah deui. Sok sanajan Apa jangji moal mopohokeun Ibu jeung aranjeun tapi harita hate Ibu ngadulag rohaka, tarik pisan. Sirah Ibu ngadadak nyeri asa ditojosan ku sarebu jarum, tuur Ibu nyorodcod, lungse siga euweuh tulangan. Dampal leungeun dak dumadak singsireumeun. Ibu ngadegdeg basa nyekelan kertas teh, pulpen mehmehan murag. Ibu negerkeun maneh neken eta surat.

Basa Apa amitan, Ibu hayang ngadagor-dagorkeun sirah kana tembok bari terus ceurik aluk-alukan, tapi ari ras inget ka hidep duaan Ibu teu wasa ngalajur napsu amarah ambek ka Apa lantaran Apa oge omat-omatan masalah ieu teh ulah nepi kana ceuli hidep.

Ujang, pupujan hate Ibu. Ujang mah can ngarti naon aku keur karandapan ku Ibu ayeuna. Ujang mah saukur bisa neuteup lamun Ibu carindakdak teh. Keun bae hidep mah teu kudu ngarti jeung teu kudu apal. Ieu mah masalah kolot. Ujang mah sing daria we nyanghareupan kahirupan da ujang mah leutik keneh. Ujang remen nanya kunaon Ibu nangis wae, tapi Ibu teu boga ‘diksi’ anu mantes anu bisa ngajelaskeun eusi hate Ibu anu sabenerna ka Ujang.
Anaking. Lamun hidep nanya ka Ibu kunaon ayeuna mah Apa jarang mulih ka bumi, Ibu teu boga pijawabeunnana keur hidep duaan. Naha hidep bakal ngarti lamun ku Ibu dicarioskeun yen Apa gaduh deui Ibu anu anom anu peryogi di paparin jatah wengi? Ah jigana can pantes Ibu nyarita kitu ka hidep da hate jeung pikiran hidep mah masih bodas nyacas, Ibu teu wasa nyoretan hate hidep anu suci ku masalah sarupa kieu. Ngan hidep kudu ngarti yen unggal-ungal hidep nanya dimana Apa, hate Ibu anu soek karasa tambah awok-awokan.

Ibu oge surti yen aranjeun teh ngarasa kaleungitan Apa da biasana mah pan Apa teh geus aya di imah ti sore mula. Ari ayeuna dina saminggu hidep ngan papanggih dua poe jeung Apa. Tapi da jigana mah Ibu mah leuwih ti kitu, Ibu mah lain ukur kaleungitan raga Apa wungkul, Ibu mah kaleungitan hate, kanyaah, kadeudeuh, jeung katresna Apa lantaran Apa keur sono pogot kanu anom. Apa hilap yen salian ti Ibu, aranjeun oge sarua pada sono jeung ngarasa kaleungitan ku Apa.
Geulis, anaking. Lamun Ibu nyebat yen Ibu rela tur ikhlas dipidua hate ku Apa lantaran Ibu hayang babakti kanu jadi salaki, lamun Ibu cacarita yen Ibu rido lilahi ta’ala Apa nikah deui, lamun Ibu imut ngagelenyu totonden Ibu ikhlas dunya aherat diwayuh ku Apa, eta teh sabenerna mah bohong. Ibu geus ngabohong ka Apa, ka tatangga, ka baraya, ka aranjeun, malah Ibu geus ngabohong kana hate Ibu sorangan. Eulis, na saha atuh pijalmaeunnana anu rela dipidua. Sok teangan sabudeureun dunya. Moal manggih Eulis. Lantaran geringna dipidua teh geuning gering anu moal panggih jeung piubareunana.

Ujang anaking, ubar kasedih Ibu. Nepika wanci ieu rarasaan mah Ibu geus bisa nutupan dimana Apa hidep sabenerna ayeuna. Ibu bisa ngaropea carita yen Apa hidep tos gaduh panutan deui. Ibu geus ngareka basa keur aranjeun supaya aranjeun pasrah teu bisa papanggih jeung Apa unggal poe. Ibu geus ngarasa buni nyamunikeun kalakuan Apa ka aranjeun. Tapi kamari sirah Ibu asa katinggang batu anu gede pisan, basa Ujang nanya, “Bu, ari Apa teh poligami?” Masya Alloh. Na apal timana pan Ujang mah balita keneh?***

Senny Suzanna Alwasilah, dosen Sastra Inggris FISS UNPA

Daftar Blog Saya