Salam Persahabatan

SAMPAIKAN KOMENTAR ANDA

Kamis, 25 Desember 2014

KETIKA HARUS BERTAHAN

Rumah terasa lengang, hari ini rencananya Heidy mau menurunkan foto di dinding untuk dibersihkan.  Pandangannya tertuju pada bingkai pernikahanya dengan sang suami, dia tersenyum hambar, teringat perjalanan kehidupan rumah tangga mereka.
Pertama kali menerima pinangannya, Heidy tahu ada konsekwensi yang harus dijalani sebagai seorang istri yang akan masuk ke keluarga besar suaminya. sekalipun suaminya bukan anak tertua, tapi dia anak laki2 yg punya tanggungjawab besar terhadap keluarganya, terutama ibunya.  Ayah yg sudah tiada, anak laki2 tertua yang tidak perhatian lagi terhadap keluarga, membuat suaminya menjadi tumpuan harapan keluarga.   Heidy baru sadar betapa berat beban yang harus dipikul suaminya.  
Tahun pertama menikah dengan kondisi skripsi belum selesai, suami dan dia hanya guru privat, dengan penghasilan yang jauh dari mencukupi, menumpang di rumah mertua pula, dia mencoba berkomunikasi dengan suaminya terkait bagaimana pengelolaan rumahtangga yang akan mereka bina. 
Suaminya hanya tersenyum dan menanggapi dengan ringan, "Ga usah terlalu dibuat rumit, santai saja laahh.... keuangan kita kan masih begini... ada uang kita kelola... ga ada uang... ya tinggal puasa..." Dia jadi teringat saat ibunya masih ada, beberapa kali terjadi diskusi masalah manajemen keuangan rumah tangga, "Seluruh gaji ayahmu diberikannya pada ibu, ibulah kemudian yang mengatur keperluan kalian dan opersional rumah"  "Kenapa tidak ayah yang memegang keuangannya bu?"   "Umumnya para laki2 terlalu menggampangkan penghasilan karena dia pikir dialah yang mencari, jadi biasanya terlalu boros dan mengalokasikan pada hal2 yg kurang perlu.  Tpi kalo perempuan biasanya lebih teliti dan berhati-hati".   Dia ingin sekali membuktikan teori itu, tapi... saat bulan gajian tiba di awal pernikahan mereka, suaminya hanya laporan struk gaji sambil berkata "Gajiku cuma segini, aku pegang saja ya, kalau kamu ada perlu minta saja sama aku"   walau hatinya berontak, Heidy tidak mau mengawali rumahtangga mereka dengan keributan, maka dia pun hanya terdiam.  Saat berkunjung ke rumah Ibu, Heidy mengingatkan untuk memberi Ibu, bagi dia Ibu yang utama untuk dibantu, "Sini aku yang kasih Bang, kata Ibuku almarhumah bagusnya yang ngasih tuh menantu supaya mertua tahu menantunya ridho"   suaminya pun memberikan uang untuk diberikan kepada Ibu, namun.... apa yang terjadi diluar dugaan Heidy " Ibu ga mau terima uang dari kamu, ga enak nerimanya, lagian cuma segitu, gaji Ibu lebih besar dari uangmu "   Heidy terpana, walau merasa tersinggung tak dihargai dia berusaha menahan diri "Kami memang baru bisa ngasih segini Bu, terimalah sebagai tanda bakti kami mudah2an kelak bertambah rezeki"   "Gak ngasih pun Ibu pasti doakan kamu, sudah... lain kali kalau mau ngasih ga usah dari tanganmu, pantang Ibu nerima uang menantu...."   Heidy terkejut dan bingung, namun dia berusaha memaklumi dan tenang.... Ibu berasal dari suku cukup keras karakternya, jadi dia berusaha memaklumi, semenjak saat itu dia tidak pernah terlibat dan mau tahu lagi seberapa besar suaminya memberi uang untuk Ibunya.    Namun yang lebih mencengangkannya adalah ketika dia berkunjung ke rumah para iparnya, tanpa harus bertanya kepadanya, suaminya membagi2kan dana untuk mereka.  Sesampainya di rumah Heidy mempertanyakannya, " Bang, apa ga sebaiknya tanya aku dulu untuk kasih2 ke kakak2mu... mereka kan sudah punya suami dan tidak tergolong kalangan dhuafa....."   " Lah ngasih buat kakak2ku sendiri kok, hasil aku sendiri, buat apa aku tanya2 kamu, kok jadi ribet"   " Kalau kasih ke ibu aku ga protes deh karena itu kewajiban, tapi kalau sama kakak? mereka kan punya suami juga, aku sudah nerimain lho gajimu tidak dikasihkan ke aku, mbo ya sedikit hargai aku dong kalau mau kasih ke mana-mana, jangan mentang2 kamu pegang sendiri trus bisa kamu bagi-bagikan begitu saja, nanti giliran aku minta sudah habis deh bagianku, kamu tuh punya kewajiban  juga lho menafkahi aku"   suaminya terdiam namun kelihatan dia agak gusar.   Dia memang paling tidak suka keluarga besarnya diributkan.  
Ternyata pola ini terus berulang, bahkan sampai gaji suaminya bertambah, bahkan sampai anak bertambah.  Heidy tidak pernah tahu harga2 perlengkapan rumah mereka, atau sekedar harga rumah yang mereka kontrak.  Tahu2 pindah kontrakan, tahu2 perlengkapan rumah tangga bertambah, tanpa ada pembicaraan, kesepakatan, tahu2 suami sudah memberikan apa yang dia butuhkan.   Satu sisi dia senang, karena tidak perlu direpotkan oleh urusan memanaje keuangan, ataupun memikirkan barang2, tapi disatu sisi dia tidak bisa punya simpanan bahkan untuk sekedar membeli keperluan pampers anak, karena boleh dikatakan kebutuhan memasak disediakan harian.  Lama-lama Heidy menjadi terbiasa, dari mulai tadinya mempermasalahkan sampai tidak pernah lagi mempermasalahkan bahkan sampai akhirnya terbiasa, menjalani dengan mengalir, bahkan dia ikuti irama suaminya yang EGP.  Untuk keperluan anak mereka harus pergi bersama dengan suami sebagai kasirnya, bila Heidy akan pergi karena suatu acara baru suaminya memberikan ongkos sesuai kebutuhannya.   
 Sampai kemudian pada suatu masa Allah memberikan pasangan ini kelebihan rezeki, mereka membangun rumah, dan seperti biasa tanpa musyawarah dan mufakat, kalaupun ada musyawarah Heidy sudah tidak bisa berpendapat, andaikata berpendapat akan dengan mudah dipatahkan suaminya.  Lagi2 Heidy menerima begitu saja seperti biasanya.  Seperti ketika dia berencana membangun sekolah, dan modalnya malah dikasihkan ke kakak2 suaminya, Heidy hanya bisa pasrah, walau terbersit kekecewaan, karena sekolah menjadi obsesinya, dia tetap berusaha mengatasinya.....   Heidy berpikir, semenjak awal mereka berumahtangga dengan gaji pas2an sampai kemudian punya gaji yang cukup, mereka tidak pernah bisa menyimpan atau mengalokasikan dana untuk usaha.  Dana habis dibagi menolong saudara2nya untuk usaha walaupun beberapa tidak ada yang terwujud, bahkan sampai harus mengabaikan obsesi Heidy untuk memiliki sekolah.....Ternyata tidak pernah ada perbaikan manajemen keuangan dalam rumah tangga mereka yg sudah mulai menginjak duapuluh lima tahun ini.......
Bagaimanapun Heidy bangga pada suaminya yang begitu berbakti pada Ibu dan saudara2nya bahkan terkadang harus mencari pinjaman untuk menutupi kebutuhan Ibu dan saudara2nya.
Tibalah masa ini... saat suaminya harus kehilangan pekerjaan, tak ada simpanan atau barang yang harus dijual, menutupi kehidupan dengan piutang, sementara Heidy untuk bekerja diluar sudah terpentok usia, menua bersama obsesi dan keinginannya.   Anak2 beranjak dewasa, kebutuhan kuliah dan kos serta kebutuhan sehari2 mereka semakin bertambah, lama2 anak2 sudah bisa membaca buruknya manajeman keuangan orangtua mereka.
Heidy menghela nafas, mengusap foto keluarga mereka dan meletakannya kembali di dinding rumah.

"Yang sulit dalam hidup ini bukan MEMILIH, tapi BERTAHAN PADA PILIHAN. Sedikit waktu mungkin sudah cukup untuk menentukan pilihan tapi butuh waktu seumur hidup untuk BERTAHAN PADA PILIHAN yg kita ambil"


Kamis, 10 Juli 2014

UNGKAPAN SEORANG PENYAIR


Sejujurnya……. Aku malu mengakui bahwa aku masih mencintainya…….. namun ternyata waktu dan keadaan tak mampu membunuh perasaan itu………Bertemu dengannya seperti sebuah mimpi.  Berbagai macam perasaan berkecamuk di hatiku, antara ingin menumpahkan kerinduan, juga ingin menumpahkan kemarahan yang sudah sekian puluh tahun terpendam. 
PASRAH memang adalah sebuah kata akhir, ketika manusia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi……. Persoalannya sekarang adalah, bukan terletak pada lima huruf tersebut semata, namun bagaimana kemudian kita mengelola yang sudah ada dan meninggalkan masa lalu kita……..  Namun bila kemudian persoalan saat ini ditimbulkan karena SEBUAH MASA LALU YANG TIDAK SELESAI, akankah kemudian harus dibiarkan?
Kenapa aku katakan belum selesai? Karena dia tidak pernah berusaha menyelesaikan dengan cara ”Bagaimana seorang laki-laki yang menghargai wanita menyelesaikannya”, aku menunggu dia untuk menyelesaikannya, sekalipun kemudian memutuskan untuk tidak meneruskan apa yang sudah, pernah dan akan  terjadi diantara kita........ Episode itu diakhiri dengan begitu saja.... tanpa pernah bertemu, menyapa, ataupun saling mengutarakan isi hati masing-masing dengan lisan, karena sebetulnya bila kita melakukan itu waktu dulu, kita masih punya getaran hati yang kuat, yang kemudian akan merubah keputusan kita........... seperti pertemuan kita hari ini.......... yang kita akui masih menebarkan pesona, getaran hati, dan telapak tangan yang berubah dingin, serta pandangan mata yang masih mampu menyihir............
Perjuangannya hari ini untuk bertemu denganku, membuat hatiku pilu, andaikan hal itu dilakukannya waktu dulu......... Berjuang mengorbankan waktu dan tenaga untuk bertemu dan menemuiku di tempat aku merantau, tentu aku akan sangat tersanjung.........bahwa aku begitu dicintainya.......... Ternyata....... dia baru menunjukkannya hari ini......... Ketika kami sudah menjadi milik dan bagian orang lain, aku masih tersanjung........... tapi, tanpa harapan........ Pupus!
TAKDIR, seringkali kita menyalahkan takdir........ padahal takdir boleh kita minta agar berpihak pada kita, dengan do’a dan azzam yang sungguh-sungguh........ sayangnya, pengetahuan agamaku dulu begitu dangkal, aku memahami do’a seolah tak boleh diminta, tapi hanya minta yang terbaik semata......... Ternyata, kita boleh minta yang kita inginkan, kemudian hasil akhir kita serahkan pada-Nya.  Dulu, aku pikir dengan meminta kita malu pada SANG KHOLIQ dan merasa tak pantas....... Padahal kita boleh minta, karena DIA Maha Mengabulkan Do’a.........
Hari ini, aku bahagia bertemu dengannya, sekaligus bersedih, karena pertemuan itu tidak akan pernah membuahkan apa-apa........... 

Cikarang, 14 Juli 2008
curahan seorang perempuan


SEBUAH PILIHAN

           

Disebuah keheningan malam, di saat orang-orang masih terbuai dalam peraduan, terdengar sayup-sayup seorang perempuan melafalkan kalam illahi
“Ahasibannaasu anyutrokuu anyaquulu aamanna wahum laa yuftanuun
Walaqod fatannalladziina minqoblihim falaya’lamnnallohulladziina shodaquu walaya’lamannal kaadzibiin.” (Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Alloh pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta)
Berulang-ulang dibacanya ayat tersebut dengan airmata yang tak kuasa dibendungnya, sajadahnya sudah basah, sobekan surat  berserakan disekitar tempatnya sholat, mengadukan seluruh kepedihan hidup hanya kepada-Nya melalui sujud yang panjang, dikeheningan malam.  Sungguh tak disangka akan beginilah jawaban yang dia dapatkan dari seorang laki-laki yang selama ini menghiasi hari-hari dihatinya walau jauh dari pandangan mata, seorang lelaki yang dia yakini akan merajut masa depan dengan kebersamaan membina mahligai rumahtangga bersamanya.  Padahal, dia sudah mempesiapkan diri untuk mendapatkan jawaban ini, karena dia tahu perjuangan untuk menjadi seorang muslimah sejati memerlukan pengorbanan yang cukup tinggi termasuk kesenangan duniawi, maka…..jauh sebelum dia memberikan penawaran pada lelaki tersebut, dalam sholatnya selalu dikumandangkan do’a “ Ya Alloh….apabila dia jodohku, dekatkan, permudahkan dan berikan pula hidayah padanya agar kami bisa membangun keluarga dakwah bersama-sama, namun apabila dia bukan jodohku, jauhkanlah…. beri aku kekuatan,keikhlasan menerima kenyataan yang Engkau berlakukan, berikan aku pengganti yang lebih baik daripadanya….”.   
Sebagai seorang wanita yang  baru semangat dalam memperdalam agamanya, dia menginginkan segala sesuatu berjalan baik, langkah awal yang dia lakukan adalah mengajak kekasihnya untuk memperdalan agama pula agar ketika mereka membina rumahtangga dapat berjalan seiringan, kemungkinan terburuk dari jawaban kekasihnya dia sudah mempersiapkan diri.  Tapi, sungguh…dia ternyata hanya seorang manusia biasa, ketika tawaran pertama tak mendapat tanggapan, dia memberikan penawaran ke dua dengan sedikit mengancam,  dia tidak ingin hubungan mereka tidak ada kepastian, sementara dia sudah tahu bahwa hal ini melanggar etika agama, atau hubungan mereka selayaknya teman, dan….inilah akhir dari penantiannya yang panjang, sang kekasih memberikan jawaban pasti, lebih baik berteman biasa daripada harus melamarnya segera tanpa kesiapan materi yang cukup, walaupun sudah berpenghasilan.  Inilah jawaban yang menghentakkan bathinnya, dia seperti terbangun dari mimpi yang panjang, bahwa dia sudah demikian terlena dari pesona dunia, ah…harga dirinya selaku seorang wanita seperti tercampakan, kesetiaannya seolah tersia-siakan.  Bathinnya menangis, mengharu-biru, inilah rupanya ujian pertama atas kesetiaannya pada sang pencipta, apakah kesetiaan pada makhluk akan mengalahkan kesetiaannya pada sang Kholiq ? dan… seolah-olah sang kholiq ingin membuktikan kasihsayangNya, tak lama dari jawaban yang diberikan kekasihnya, terdengar kabar bahwa ternyata sang kekasih terlibat “cin-lok” alias “ cinta lokasi “, ini semakin membuktikan siapa sebenarnya lelaki yang sudah begitu dicintai selama 5 tahun ini…………

Ternyata, untuk menuju keikhlasan memang bukan suatu hal yang mudah, hampir sama ketika dia harus kehilangan ibu dulu (walaupun lebih berat) berjuang melawan hawa nafsu amarah dan perasaan dicampakan juga bukan suatu hal mudah, “ Kamu tidak dicampakan, tapi kamu diselamatkan, ternyata dia bukan laki-laki yang baik buatmu…” kakaknya berusaha membesarkan hatinya, padahal baru beberapa waktu yang lalu dengan yakinya dia katakan pada ayah, kalau sang kekasih pasti datang melamarnya.  Reaksi dari semua itu adalah dia terkapar sakit cukup lama, seolah sang kholiq memberikan kesempatan pada dirinya untuk berdzikir menenangkan diri, sekaligus instropeksi atas janji setianya pada sang Kholiq, “ Ya Alloh….beri aku kekuatan, beri aku keikhlasan, palingkan aku dari masalaluku yang suram………” tanpa sadar,kebencian dan ketidak percayaan pada lelaki yang pernah menjadi kekasihnya selalu dia hembuskan dalam hatinya seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran dia untuk menerima ketentuan-Nya.
Dua tahun dari kejadian tersebut, seorang ustadzah menawarkan seorang lelaki sholeh, ta’at, walaupun belum berpenghasilan tetap, “ Maaf ibu, bukan saya tidak percaya sama ibu, bisakah saya menguji kesungguhannya?”  “ Ya, tentu saja…”  “ Rumah ayah saya ratusan kilometer dari sini, bisakah dia datang dulu berkenalan dengan ayah dan keluarga saya?”   Begitulah…jauh dilubuk hatinya selaku makhluq yang dhoif memang kadang terlintas kekhawatiran untuk dikecewakan lagi, namun ternyata lelaki ini memang sholeh dan besungguh-sungguh, walau penghasilan belum mencukupi, tempat jauh dicapai, dia datang dengan gagah berani membawa izzah seorang muslim yang memuliakan wanita, mengemukakan kesungguhan, untuk segera datang melamar……
Malam ini, perempuan itu tafakur lagi, sajadahnya basah, tapi kali ini dia menangis bahagia, bahagia karena dia bisa memerangi hawa nafsunya, bahagia karena ternyata Alloh dengan cepat memberikan pengganti seorang lelaki yang lebih baik dari lelaki kemarin, bahagia karena esok hari akan ada seorang lelaki sholeh meminang sekaligus menikahinya, walau perasaannya sebagai manusia biasa terhadap lelaki bekas kekasihnya dulu seringkali timbul tenggelam antara cinta dan benci, namun dia yakin selama kedekatannya pada sang Kholiq tetap dijaga, maka Dia akan menjaganya pula “ Intansurullohu yansurkum, wayutsabit aqdamakum” – Barang siapa menolong agama Alloh, maka Alloh akan menolong mereka.

Bekasi, mei 2006
Diilhami dari cerita seorang teman

Ummu Mush’ab

Sabtu, 01 Februari 2014

KISAH PERTAPA DAN KEPITING

Suatu ketika di sore hari yang sejuk nampak seorang pertapa muda sedang bermeditasi dibawah pohon tidak jauh dari tepi sungai. Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba2 perhatiannya terpecah kala mendengar gemerik air yg tidak beraturan. Perlahan-lahan iapun membuka mata dan segera melihat kearah tepi sungai sumber suara tadi berasal. Ternyata, ada seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai supaya tidak hanyut terbawa arus. Melihat hal itu, sang pertapa muda merasa kasihan dan segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan yg terjulurpun kepiting tersebut menjepit jari sang pertapa muda sampai terluka. Tapi sang pertapa muda puas dapat membantunya dan kemudian meneruskan meditasinya.
Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terulang kejadian seperti certitatersebut diatas sampai 2x sampai mengakibatkan jari pertapa muda tambah bengkak . Tiba-tiba datanglah seorang tua yang melihat kejadian itu datang menghampiri dan menegur si pertapa muda. “Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik. Tapi mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capitnya melukaimu hingga sobek seperti itu?”
Pertapa Muda : “paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya utk memegang benda, dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa mahluk lain walaupun itu hanya seekor kepiting”.
Mendengar jawaban si pertapa muda itu, kemudian orang tua itu memungut sebuah ranting. Ia lantas mengulurkan ranting kearah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai. Segera si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya.
Orang Tua : “Lihat, anak muda. Melatih sikap belas kasih memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, yakni utk menolong mahluk lain, tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun kita manfaatkan bukan?”
Seketika itu si pertapa muda tersadar. “Terima kasih paman. Hari ini saya belajar sesuatu. Mengembangkan cinta kasih harus disertai dengan kebijakan. Dikemudian hari, saya akan selalu ingat kebijakan yang paman ajarkan”.
Mempunyai sifat belas kasih, mau memperlihatkan dan menolong orang lain adalah perbuatan mulia, entah perhatian itu untuk anak kita, orang tua, sanak saudara, teman dan siapapun. Tetapi, kalau cara menolongnya salah, seringkali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya memecahkan masalah, namun justru menjadi bumerang. Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya berniat membantu malah harus menanggung beban dan kerugian yang tidak perlu.
Karena itu, adanya niat baik dan tindakan berbuat baik seharusnya diberikan dengan cara yang tepat dan bijak. Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi yang membantu.

Daftar Blog Saya