Salam Persahabatan

SAMPAIKAN KOMENTAR ANDA

Jumat, 21 Januari 2011

Suami Sholih: Mitra bagi Istrinya




Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (al Quran, surat at Taubah:71)

Ayat di atas mengajarkan kemitraan lelaki dan perempuan dalam perjuangan menegakkan kebenaran secara utuh. Tak ada perbedaan hakikat tugas diantara keduanya. Yang ada adalah pemilahan-pemilahan tugas sesuai tuntunan ajaran Islam yang mencerminkan fitrah penciptaan lelaki dan perempuan. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan; Sesungguhnya (peran) usaha kamu memang berbeda-beda. (QS al Lail:1-4). Rahmat Allah akan secara adil terbagi untuk lelaki dan perempuan yang berjuang. Penyebutan dua nama Allah yang mulia: Maha Perkasa dan Maha Bijaksana pada ayat at-Taubah di atas, seakan menyiratkan bahwa keseimbangan peran lelaki dan perempuan dalam kehidupan akan melahirkan kekuatan yang diselimuti sifat bijaksana.

Pasangan suami-istri adalah representasi terkecil dari kemitraan dalam perjuangan di atas. Saat ini perempuan muslimah memiliki peran sosial yang berat. Di hadapannya terpampang seribu satu masalah pemberdayaan perempuan di masyarakat. Seorang suami yang bijak akan menempatkan diri sebagai mitra dalam perjuangan istrinya. Ia pun, insya Allah, akan menemukan pesona pada salah satu sisi peran istrinya ini.

Pada penunaian tugas sosial dan da’wah ini istri akan menemukan peran penting pada jatidirinya. Menjadi seorang yang memberi manfaat kepada orang lain adalah satu kebutuhan; Bagian dari need of achievement. Dalam peran-peran sosial, ia dapatkan tantangan untuk berpikir, berdialog, membaca, bekerja dan berkarya. Ini akan membuat kepribadiannya terus bekembang dan terus merasa lebih berarti dalam kehidupannya.

Begitu banyak permasalahan sosial membutuhkan sentuhan tangan perempuan. Bidang pendidikan sangat membutuhkan jiwa yang penuh perhatian dan kesabaran. Pencerdasan para ibu pada hakikatnya adalah pencerdasan masyarakat keseluruhan. Sebab hanya ibu yang cerdas dan terampil yang dapat menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan dan pendidikan anak-anak. Penanganan kesehatan sangat dipengaruhi sikap kasih sayang, ketelitian dan kelembutan. Sudah pasti penanganan medis bagi perempuan, seperti masa kehamilan hingga melahirkan, dalam tuntunan ajaran Islam menuntut tenaga-tenaga terampil dokter, bidan dan perawat perempuan.

Bagi suami sholih, menempatkan diri sebagai mitra istri berarti menjadi kawan dialog yang menyenangkan. Memberikan apresiasi yang kreatif dan tulus atas prestasi-prestasi kerjanya. Selalu menyediakan waktu untuk berbincang tentang permasalahan yang dihadapi istri. Mengajukan pendapat yang mungkin bisa membantu kesuksesan tugasnya. Membantu mempertajam bahan makalah, ketika misalnya istri mendapat tugas untuk mengisi seminar atau ta’lim-ta’lim tertentu.

Di sisi lain, suami sholih sebagai mitra juga akan meringankan beban tugas istri di dalam rumah. Di saat-saat kebutuhan alokasi waktu istri di masyarakat agak lebih dari biasanya, bisa saja suami menawarkan untuk memasak buat keluarga, atau sesekali makan di luar. Secara rutin mengajak anak-anak bermain di luar rumah untuk memberikan waktu-waktu luang bagi istri dalam meningkatkan kemampuannya dengan membaca, menulis, berkomunikasi di internet dengan rekan-rekannya atau hanya untuk sekedar menikmati kesendiriannya. Setiap orang butuh melakukan perenungan, untuk berdialog dengan diri sendiri.

Semua tugas suami terhadap istri sebagai pekerja untuk masyarakatnya mesti diperankan dengan posisi mitra. Ini membutuhkan ketulusan dan kematangan bersikap. Posisi pemimpin rumah tangga kadang secara tidak disadari mendominasi seluruh interaksi suami terhadap istrinya dengan sikap yang kurang dialogis. Ketika sang istri mulai bercerita dengan penuh semangat tentang pengalamannya di luar rumah, suami bersikap acuh tak acuh. Kalau pun mendengarkan tidak dengan perhatian dan penghargaan yang sungguh-sungguh. Atau bahkan dalam kasus yang tidak bijak, cerita istri dipotongnya dengan kata-kata, “Ah … nanti aja ya Bu ceritanya. Bapa udah laper nih. Tolong siapkan makan dulu!?” Sikap seperti ini jelas tidak mendukung peran sosial istri. Jika perlakuan seperti ini sering dilakukan, jangan salahkan siapa-siapa kalau perlahan tapi pasti istri menjadi pribadi yang apatis, tak mau tahu dengan masalah sekelilingnya. Ia akan mengalami kejenuhan-kejenuhan karena monotonnya kehidupan. Ia pun akan kehilangan kegesitan dan kecerdasannya. Sayang bukan, jika pesona gesit, cerdas, kritis dan terampil hilang dari istri?
WalLaahu a’lamu bish shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya